KUMPULAN CERPEN ‘LUKISAN KALIGRAFI’
DITINJAU DARI STRUKTURALISME-SEMIOTIK
- Latar Belakang
Sastra adalah refleksi kehidupan yang terjadi di masyarakat. Segala hal yang tertuang dalam sastra tidak dapat terlepas dari apa yang terjadi di masyarakat. Namun, ada kalanya kejadian yang ada di masyarakat tidak sama persis seperti yang dalam karya sastra (prosa). Terkadang cerita yang ada sedikit aneh, tidak masuk akal, dan terlalu dibuat-buat. Hal itu dikarenakan karya sastra pada hakikatnya adalah karya yang imajinatif.
Keadaan sosial-masyarakat selalu berkaitan dengan perkembangan karya sastra. Pada tahun 1920, sastra yang berkembang berkaitan dengan masalah adat istiadat. Roman Siti Nurbaya sebagai karya sastra yang berkembang saat itu dan mengusung tema adat yaitu pertentangan adat lama dan baru. Pada tahun 1930an, Layar Terkembang dan Belenggu membahas persoalan emansipasi wanita bukan lagi adat istiadat.
Pengarang adalah bagian dari masyarakat. Pengarang juga ikut terlibat dalam perkembangan masyarakat. Kejadian-kejadian yang ada saat itu direkam dengan sangat baik oleh pengarang bahkan mungkin pengarang mengalami kejadian itu sendiri. Salah seorang pengarang yang berada dalam situasi seperti itu adalah A. Mustofa Bisri.
Mustofa Bisri adalah pengarang yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang agamis. Kehidupan pesantren sangat kental dalam dirinya juga dalam karya-karyanya. Kejadian-kejadian dalam pesantren banyak dituangkan dalam karya. Selain kehidupan pesantren, masalah sosial juga diangkatnya namun tidak terlepas dari nilai-nilai agama di dalamnya.
Karya pertama Mustofa Bisri adalah cerpen ’Gus Jakfar’ yang dimuat dalam harian Kompas pada bulan Juni 2002. Cerita tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat umum terutama dari kalangan kiai (pesantren). Hal itulah yang membuatnya semakin giat menulis karya-karya yang bertemakan agama juga kehidupan pesantren. Cerpen ’Mubaliq Kondang’ yang ditulisnya pada Media Indonesia di bulan Oktober 2002 juga mendapat tanggapan positif karena merefleksi kehidupan yang terjadi saat itu.
Cerpen Gus Jakfar, Mubaliq Kondang, Bidadri itu dibawa Jibril, Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi, Lukisan Kaligrafi, Kang Amin, Kang Kasanun, Mbah Sidiq, Ngelmu Sigar Raga, dan Mbok Yem merupakan karya-karyanya yang berbentuk prosa. Cerpen-cerpen tersebut sudah dipublikasikan pada tahun 2003 dalam kumpulan cerpen yang berjudul Lukisan Kaligrafi.
Kumpulan cerpen A. Mustofa Bisri bukan hanya menarik dari segi isi tetapi juga dari teknik penyampaiannya. Penggunaan bahasa, pemilihan kata sangat lugas dan mudah dipahami oleh masyarakat awam. Namun tidak meninggalkan nilai atau pesan agama di dalam karyanya. Cerpen yang ditulisnya mengajarkan manusia akan hakikat kehidupan dan isinya sangat menghibur. Hal itu sesuai dengan fungsi karya sastra menurut Horace yaitu berguna dan menyenangkan (Rene Wellek dan Austin Warren 1955:18, Rachmat Djoko Pradopo 1988:4).
Berdasarkan masalah di atas, sangat perlu bagi saya untuk melihat dan menemukan unsur-unsur yang berkaitan dengan struktur pada cerpen ’ Mubaliq Kondang’. Cerpen tersebut memiliki nilai lebih karena banyak dialami di masyarakat. Dalam menganalisisnya dikaitkan dengan makna tanda yang ada di cerpen tersebut. Adapun pendekatan yang digunakan adalah strukturalisme-semiotik.
- Permasalahan
Adapun permasalahan yang ingin dianalisis adalah bagaimana struktur yang terdapat dalam cerpen ’Mubaliq Kondang’ dan sistem makna tanda di dalamnya.
- Landasan Teori
Karya sastra adalah struktur yang kompleks. Struktur merupakan tatanan dari unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra. Sebuah unsur tidak dapat terlepas dengan unsur lainnya meskipun fungsinya berbeda satu dengan lainnya.
Piaget (1995:4-12) mengatakan bahwa struktur dalam karya sastra memuat tiga kesatuan :
- wholeness artinya karya sastra adalah utuh, setiap bagian saling berhubung.
- transformasi artinya karya sastra mengambil unsur lain dari karya sastra itu sendiri.
- self regulation artinya bila salah satu unsur berubah maka unsur lainnya mengatur dirinya sendiri.
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel, dan mendalam mungkin keterkaitannya dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. (A. Teeuw, 1984 :135)
Dalam menganalisis struktur karya sastra harus disesuaikan dengan jenis karyanya. Antara sajak dan fiksi berbeda bentuk analisisnya. Analisis sajak pada tataran bunyi dan arti sedangkan analisis fiksi lebih pada struktur cerita.
Stanton dalam An Introduction to Fiction (1965) menguraikan unsur fiksi menjadi fakta yang meliputi plot, tokoh, latar ; sarana cerita yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan nada ; serta tema). (Wiyatmi, 2005 : 30-31)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar